Ciri Musim Panas di Jepang

oleh Justin Ehringhaus
(ditulis pada 9 Agustus 2017, diterjemahkan oleh F. Agustimahir pada 11 April 2018)
夏の風物詩


Sebelum berangkat dari kantor ke Festival Kembang Api Ichikawamisato kemarin malam, atasan saya bilang begini, "Justin, ada satu hal yang sangat penting yang harus kamu pahami tentang festival musim panas di sini di Jepang." Saya lihat sorot matanya penuh teka-teki seperti biasa, yang menyiratkan bahwa 'hal penting' yang akan dia katakan pada saya bisa saja hanya hal sepele. Nyatanya, sebagian besar yang dia ajari pada saya sehari-hari adalah campuran dua hal -- peribahasa kuno yang sulit untuk digunakan di masa kini tapi mengandung sejarah, budaya, dan keindahan di maknanya; fakta tentang sejarah akan hal ini atau asal muasal itu, tentang suatu hal yang tidak penting untuk dan tidak berkaitan dengan pekerjaan saya, tapi percakapannya itu sendiri yang menjadi sumber hiburan intelektual selamanya.

Dia berbicara perlahan, untuk memastikan bahwa saya bisa mendengar pelafalan setiap katanya:

夏の風物詩 (なつのふうぶつし・natsu no fuubutsu shi).

Musim panas, angin, benda, puisi. Saya duduk dan memperhatikannya untuk sesaat, memikirkan tentang arti harfiah dari masing-masing aksara China tersebut satu persatu. Untuk beberapa alasan, ini terdengar puitis, terlepas dari fakta bahwa aksara terakhir memang diterjemahkan sebagai "puisi". Saya mulai membayangkan tentang sesuatu yang melayang di antara tiupan angin hangat musim panas -- ya, sangat puitis.

"Apa kamu paham?"

Saya mengakui pada atasan bahwa saya tidak paham. Dia menggelengkan kepalanya, senyumnya menjadi lebih lebar dari biasanya, dan jika memungkinkan, semakin penuh akan teka-teki.

Saat itu rekan-rekan kerja saya mengatakan bahwa kami harus segera mengejar kereta, dan atasan saya meminta supaya saya segera mengikuti mereka. "Pikirkan lagi tentang hal tadi selagi kamu di sana,' katanya sambil melambaikan tangan, dan mengembalikan tatapan matanya ke layar komputer.
Ketika kami tiba di tempat festival di sana ada ribuan orang berseliweran, banyak dari mereka menggunakan pakaian tradisional musim panas Jepang seperti yukata dan jinbei. Wangi makanan khas musim panas seperti takoyaki, yakitori, dan yakisoba terbawa angin musim panas. Kami pun beli beberapa dan berjalan beriringan menuju tempat menonton, perlahan-lahan di tengah teriknya musim panas. Lentera kertas menerangi jalanan yang kami tempuh, meski saat itu belum terlalu gelap bagi mereka untuk menarik perhatian para pengunjung. Pemandangannya sangat menakjubkan. Ini adalah kali pertama saya berada di luar kota Kofu, dan saya menemukan diri saya ke dalam kerumunan dan ikut mengalir. 




Setelah 2 jam menikmati pentas kembang api paling hebat yang pernah saya lihat, saya merasa sudah cukup dan waktunya untuk pulang dan tidur. Kami mengumpulkan sampah-sampah kami, berkemas, dan mulai mengikuti antrian panjang orang-orang yang mulai berjalan pulang. Ini kali kedua ketika akhirnya lentera kertas berhasil menarik perhatian saya. Kali ini, mereka bersinar lebih terang karena langit gelap sebagai latarnya. Sejauh mata memandang, mereka berjejer rapi sepanjang jalur, berayun ke depan dan ke belakang ditiup angin musim panas. Kalimat yang tadi diajarkan oleh atasan kembali terngiang di kepala.

夏の風物詩 (なつのふうぶつし・natsu no fuubutsu shi).

Musim panas, angin, benda, puisi. Saya harus mengakui bahwa tangan saya mulai masuk ke saku saat itu juga untuk membangkitkan sumber pengetahuan terbesar di jangkauan saya: sang Internet. 

Ahh. Ini adalah salah satu waktu dimana bahasa Inggris tidak bisa menjembatani kedalaman makna dan keindahan sebagaimana terkandung dalam bahasa penutur asli. 

"Sebuah ciri tradisi musim panas." Kesan puitis, meski hilang saat diterjemahkan, masih bisa dirasakan lewat pengalaman.

Sampai jumpa lagi.

No comments:

Post a Comment

Instagram