Bertualang di Hutan (Otsuki, Uenohara dan Tsuru)

oleh Kendra Evans
(ditulis pada 19 Desember 2016, diterjemahkan oleh F. Agustimahir pada 9 April 2018)

Sekitar dua minggu yang lalu, kami mendapatkan kesempatan langka dari Bapak Amemiya dan Bapak Suzuki dari Dinas Kehutanan dan Lingkungan cabang Fuji-Tobu untuk pergi dan melihat wilayah tersembunyi, dan jarang dikunjungi di wilayah hutan Prefektur Yamanashi. Dinas ini berupaya untuk mendatangkan banyak pengunjung, terutama wisatawan asing, untuk datang dan merasakan baik alam dan sejarah melalui hutan tua prefektur ini, dan kami pun diundang supaya bisa menceritakan pengalaman tersebut lewat blog ini. Terus baca untuk mempelajari lebih banyak tentang alam Yamanashi!



Pemberhentian pertama: Jalan Koshu Tua (kota Otsuki)


Otsuki dan Uenohara adalah dua pemberhentian pertama kami, terletak di sisi timur prefektur Yamanashi, dekat ke Kanagawa dan Tokyo. Meski tidak begitu bergunung seperti halnya pegunungan Alpen Selatan di batas sebelah barat, atau pegunungan Yatsugatake di sisi utara,  tetap saja wilayah ini berbukit-bukit dan terselimuti hutan dataran tinggi. Jalan Koshu Tua, satu dari 5 rute utama untuk perjalanan pada zaman Edo dan Meiji, terbentang dari Otsuki dan Uenohara, menghubungkan Tokyo Tua ke Kai no Kuni (prefektur Yamanashi) dan terus memanjang hingga prefektur Nagano saat ini. Kami berjalan-jalan di sekitar jalan tua ini untuk melihat pemandangan sekitar.




Pemberhentian pertama kami di Jalan Koshu merupakan tempat yang sangat penting: pohon Cedar Yatate di persimpangan Sasagotoge. Pohon ini tingginya 28 meter, dengan lingkar batang sekitar 9 meter. Usianya lebih dari 1000 tahun. Pohon ini sangat dikenal pada zaman Edo, dan begitu kamu melihatnya, kamu akan paham mengapa ini begitu penting.



Salah satu hal menarik dari pohon ini adalah patahan di bagian bawahnya, kulitnya sudah terkelupas dan menyisakan ruang yang cukup untuk seseorang memanjat di dalamnya. Dan meski demikian, pohonnya masih tegak berdiri. Jejak akar di bagian permukaan menyebar ke seluruh lantai hutan, dan kita hanya bisa membayangkan seberapa jauh mereka menyebar di dalam tanah.



Pohon cedar Jepang adalah pohon nasional Jepang, terkenal karena bisa tumbuh sangat tinggi. Pohon cedar ini, beruntung karena terletak di Jalan Koshu, sehingga menarik banyak minat. Pohon ini bisa ditemukan di banyak buku, panduan wisata, dan lukisan Jepang. Saat ini ditetapkan sebagai Monumen Budaya Alam Prefektur Yamanashi, dan diharapkan di masa depan akan ada banyak wisata hiking yang menyertakan wilayah ini dan pohon ini, sehingga orang-orang dapat belajar tentangnya dan tentang sejarah Yamanashi.



Setelah melihat pohon tadi, kami melanjutkan perjalanan di sepanjang Jalan Koshu Tua. Saya sendiri memiliki minat yang kuat akan sejarah perjalanan selama zaman Edo. Saat itu negeri ini tertutup, tapi pariwisata setempat, biasanya dibawah pengaruh kebutuhan ziarah, sangat populer. Pada zaman Edo ini lah meibutsu atau 'barang khas setempat' mulai bermunculan, sebagaimana orang-orang meninggalkan tempat tinggalnya dan melihat berbagai makanan atau barang yang tersedia di wilayah lain di Jepang. Buku panduan dibuat untuk memberitahu orang-orang tentang etika perjalanan, petunjuk jalanan, dan ryokan (hotel tradisional) bermunculan di sepanjang rute, menyediakan kamar dan hidangan setempat bagi para pengunjung.



Ryokan sangat penting ketika membicarakan tentang perannya di Jalan Koshu. Jalan sedikit lagi ke arah bawah dari Cedar Yatate, di sana ada lahan terbuka luas, dengan tebing rendah di bagian ujung dan sungai di bawahnya. Ini adalah tempat di mana ryokan tempat Kaisar Meiji pernah tinggal ketika menempuh Jalan Koshu. Kaisar datang menggunakan tandu yang dipanggul oleh abdinya, dan rombongannya akan bermalam di tempat ini.



Sangat menarik untuk membayangkan bahwa Kaisar menempuh jalan yang saat ini dikenal sebagai rute hiking. Jalannya tiba-tiba berbelok tajam, dan permukaan jalannya sangat tidak rata. Ini memperlihatkan bahwa berapa banyak hal bisa berubah hanya dalam dua ratus atau sekian tahun, baik itu lingkungannya, jalannya, atau bayangan kita tentang orang-orang penting yang menempuh perjalanan pada saat itu bisa saja sangat berbeda dengan kenyataannya.



Udara musim dingin cukup sejuk dan menyegarkan, dan kami melanjutkan jalur ini untuk beberapa saat, mengikuti jalan tua hingga akhirnya tersambung dengan jalan yang baru. Beberapa bagian dari Jalan Koshu ini bisa ditempuh oleh kendaraan bermotor, tapi bagian ini pun nampaknya masih tersembunyi dari keseharian orang-orang. Saya sangat merekomendasikan untuk datang ke sini bagi siapapun yang menikmati sejarah, hiking, atau alam Jepang.



Pemberhentian kedua: Punggung Gunung Hinoki (kota Uenohara)



Pemberhentian kita berikutnya tidak begitu jauh meski tempat ini cukup tinggi. Kami berkendara untuk beberapa saat, kami melewati bukit dan gunung melalui jalan yang mengular hingga akhirnya cukup dekat dengan puncaknya. Tempat ini cukup dekat dengan persimpangan Wami, dan ini adalah tempat yang populer untuk hiking dan bersepeda, atau untuk beberapa tempat, bersepeda gunung. Bagaimanapun, ketika kita bisa menjumpai banyak pohon hinoki dalam perjalanan menuju gunung, punggung gunung Hinoki ada di sebelah kanan dari puncaknya, sebuah tempat yang banyak orang tidak diizinkan untuk memasukinya. Kami cukup beruntung karena diizinkan untuk masuk, dan melihat bentangan pepohonan hinoki di puncak di atas kita.



Hinoki adalah pohon yang biasa digunakan kayunya di Jepang. Mulai dari meja dan kursi, hingga kuil dan perumahan, hinoki adalah kayu pilihan untuk membangun di Jepang. Kayunya memiliki wangi ringan, yang bisa dikenali di produk kayu, seperti halnya di hutan.


Pemandangannya betul-betul indah. Ini adalah musim dingin, dan banyak pepohonan gundul - tapi perpaduan antara pepohonan hijau abadi dan ranting-ranting gundul membuat paduan langka arsiran pegunungan di kejauhan.



Di sekeliling banyak ranting yang ditali oleh pita warna merah atau putih. Ketika saya tanyakan tentang hal ini, saya diberitahu bahwa beruang seringkali muncul di hutan sekitar Yamanashi, jadi ini adalah tanda untuk mencegah mereka keluar dari habitatnya dan memberitahu para pendaki. Beruntung sekali kami tidak melihat seekor pun, jadi mungkin bisa dibilang cara ini mangkus!



Bagian dari hutan di wilayah ini dikenal sebagai Hutan Onshi. Onshi berarti hadiah Kerajaan. Disebut demikian karena wilayah hutan luas - 56.000 hektar - dilimpahkan kepada prefektur Yamanashi oleh Kaisar Meiji pada tahun ke-44-nya, sebuah anugerah untuk mencegah bencana alam di masa depan. Ini menunjukkan betapa alam adalah bagian penting dari budaya dan identitas prefektur Yamanashi, dan saya sangat bersyukur bisa melihat dari dekat beberapa tempat yang langka ini.



Istirahat: Sakamanju! (kota Uenohara)



Sebelum menuju pemberhentian ketiga, kami mampir sejenak untuk mencicipi sakamanju, makanan khas setempat di wilayah Uenohara. Manju adalah semacam roti yang terbuat dari tepung beras, dan biasanya menggunakan pasta kacang merah sebagai isinya. Sakamanju dibuat dengan sake jepang sebagai tambahannya, memberikan rasa tersendiri dan sedikit asin. Toko yang kami datangi untuk mencicipi sakamanju selangkah lebih maju untuk membuatnya lebih istimewa lagi, dimana miso, pasta kacang merah dan kacang merah asin biasa dipakai untuk isian, mereka pun menggunakan ikan, menjadikannya sakana sakamanju.



Kami sangat terkejut soal gagasan ikan di dalam manju, karena biasanya ini untuk makanan penutup. Tapi kami putuskan untuk mencobanya. Kami pergi ke toko itu dan beli satu manju yang tersisa - dan ini berubah menjadi isian yang paling lezat di antara lainnya! Sake dan salmonnya berpadu serasa, dan kami paham mengapa ini hampir terjual habis. Faktanya, kami makan terlalu cepat hingga lupa untuk mengambil foto! Maaf!



Pemberhentian ketiga: Tepi Sungai Shishidome (kota Tsuru)



Pemberhentian terakhir kita adalah Tsuru, sedikit lebih selatan dari Otsuki dan Uenohara, ke anak sungai yang tersambung dengan sungai Shishidome. Sungai ini lebih dikenal sebagai tempat untuk memancing - pada masa yang lalu di Yamanashi, banyak tempat di sepanjang sungai ini yang sempurna untuk menghabiskan sore memancing berbagai ikan. Sisi sungai berbatu yang kami datangi sangat damai dan indah, dan mungkin lebih tenang lagi untuk menikmati waktu di musim semi atau penghujung musim panas, waktu terbaik untuk memancing.



Hutan di sepanjang sungai, meski di musim dingin, merupakan paduan warna yang memanjakan mata. Ranting-ranting tak berdaun hampir terlihat keunguan dengan tanaman berwana jingga yang masih dalam suasana musim gugur, dan pepohonan hijau abadi terletak di atas lereng. Wilayah ini akan terlihat seperti apa ya di puncak musim panas, atau bahkan di musim semi, ketika tanaman baru tumbuh? Saya sangat ingin untuk mengunjungi kembali dan melihatnya. 



Airnya begitu jernih, hingga kamu bisa melihat bagian dasar sungainya. Salah satu yang menakjubkan tentang alam di prefektur Yamanashi adalah kejernihan airnya, meskipun sungai kecil seperti ini. Ini adalah penghujung yang indah untuk menyudahi wisata padat kali ini, dan kami sangat menikmati hari di tengah hutan Yamanashi.



Jika kamu berkunjung ke prefektur Yamanashi dan berminat untuk mengunjungi tempat ini, silahkan hubungi Dinas Kehutanan dan Lingkungan cabang Fuji-Tobu untuk informasi lebih lanjut tentang bagaimana dan kapan untuk berkunjung. Kamu bisa menelepon mereka di 0554-45-7814, atau apabila ingin menggunakan bahasa Inggris, kamu bisa menghubungi kami di Divisi Pertukaran dan Pariwisata Global di 055-223-1435 atau kokusai@pref.yamanashi.lg.jp. Terima kasih kepada Bapak Amemiya dan Bapak Suzuki yang sudah mengajak kami berkeliling!

No comments:

Post a Comment

Instagram