Gunung Daibosatsu (Mendaki di Yamanashi)

oleh Justin Ehringhaus
(ditulis pada 28 Agustus 2017) 
(diterjemahkan oleh F. Agustimahir)

Mendaki di Yamanashi
Gunung Daibosatsu



Halo pembaca blog kami! Kami di sini - para blogger dari Rumah Gunung Fuji - baru saja bertualang mendaki gunung di akhir pekan lalu. Meski otot-otot kaki masih menjerit-jerit dalam 48 jam terakhir, kami senang untuk berbagi tentang pendakian kami di gunung Daibosatsu yang (hampir) saja selesai dengan lancar!

Misi: Sabtu, 26 Agustus 2017 - Mendaki gunung Daibosatsu
Ketinggian: 2.057 meter
Jadwal:
① Berangkat dari stasiun Kofu pada jam 8:00 pagi dan tiba di stasiun Enzan pada 8:20.
② Berangkat dari stasiun Enzan pada 8:30 dan tiba di titik awal pendakian pada 8:57.
③ Mulai mendaki pada pukul 9:00.
④ Makan siang di cafe Fukuchan-So pada pukul 12:00.
⑤ Mencapai salah satu pass, di 1897 meter pada 13:15.
⑥ Berdebat untuk menentukan lanjut atau tidaknya pendakian ke puncak hingga 13:45.
⑦ Menyerah dan mulai turun gunung.
⑧ Beristirahat dan makan buah dan es serut pada 15:30.
⑨ Naik bis dari titik awal pendakian ke stasiun Enzan pada 16:43.
⑩ Tiba di stasiun Kofu pada 17:44.


Kesan tentang jalur yang kami tempuh:

Setiap saya ditanya tentang kota kelahiran saya, saya suka untuk menjawab pada mereka bahwa Maine hanya dikenal untuk dua hal: lobster dan Stephen King. Tapi sebenarnya, kami juga punya pegunungan. Kapanpun ketika rasa ingin mendaki gunung timbul di antara keluarga ataupun teman-teman (yang mana, untuk saya pribadi, sepertinya tidak pernah muncul tuh), kami akan langsung berangkat ke Taman Nasional Gunung Bradbury. Hanya dalam satu jam pendakian telah selesai, kami makan bekal di puncaknya yang berbatu, pulang ke rumah, merasa puas, dan bisa tidur tanpa harus merasa nyeri. Tapi sekarang tidak lagi.


Pegunungan di sekitar Yamanashi memang berbeda. Mereka bilang ini mudah untuk didaki. Mereka bilang mendaki gunung Daibosatsu seperti mendaki bukit semut dibandingkan dengan mendaki GUNUNG FUJI yang semuanya ditulis dengan huruf kapital. Tapi, bagi saya, seorang warga Maine yang terbiasa dengan gunung yang tidak tinggi, angka "2.057 meter" itu jauh lebih tinggi dari "bukit semut". Bagaimanapun juga, saya sangat tertarik untuk mencoba mendaki gunung yang sebenarnya. Terlebih, akan sangat memalukan jika gaya hidup saya yang rutin berlatih sepeda di luar dan latihan beban di gym aktualnya tidak pernah diuji fisik.


Musim panas di Jepang itu panas. Saya, setiap sebelum pergi ke luar, baik itu ke mini market terdekat ataupun gunung setinggi 2000 meter, saya selalu berharap tipis bahwa mungkin akan sejuk di luar supaya tidak berkeringat. Seperti biasa, harapan itu langsung lenyap seiring dengan butiran pertama yang muncul dari tubuh saya. Mendaki gunung pun bukan sebuah pengecualian - kelembaban dan kerapatan dedaunan di sekitar menciptakan keadaan yang sempurna untuk munculnya butiran-butiran keringat. Ada juga hal yang lucu sekaligus sia-sia; saya membawa kipas tangan yang dibeli dari toko 100 yen dan sangat jelas bahwa banyak pendaki lain yang berpapasan dengan kami dan sepertinya menertawakan saya, pemuda asing, yang sedang berupaya mengipasi dirinya.






Ketika saya sudah tidak peduli keringat lagi, sebenarnya ini sangat indah. Kami melewati berbagai lingkungan, mulai dari jalan setapak yang tertutupi dedaunan di sekeliling, hingga dataran luas yang bisa melihat pegunungan yang ditutupi hutan sejauh mata memandang; mulai dari tanjakan yang berlumut dan berbatu hingga air terjun yang tenang dan jernih hingga kami bisa menghilangkan dahaga dengan meminum airnya langsung; dan, akhirnya, pass gunung di dekat puncak, dengan jalur yang panjang dan berangin yang mengingatkan saya kepada film Lord of The Ring, dengan latar pegunungan Selandia Baru yang luas. Jika saya adalah seorang hobbit petualang dengan cincin-paling-jahat yang bisa saja menjadikan saya tak terlihat - saya mungkin saja bisa menyelinap ke salah satu penginapan di gunung dan berendam sangat lama di onsen.





Sayangnya, tidak ada waktu untuk bersantai lebih lama lagi, kami pun mulai turun gunung. Beberapa orang bilang kalau naik gunung itu lebih sulit daripada turun gunung. Dan itu benar. Tapi, di titik ini kaki-kaki kami sudah memohon untuk beristirahat, sehingga kami pun mendapati diri kami yang tersandung-sandung saat menuruni gunung, dan setiap turunan terasa makin curam, jalan berbatu terasa makin terjal. Saat kami melihat ada kafe di bawah sana, kami berlari dengan riang untuk segera masuk dan menikmati buah-buahan dan es serut. Memang, mungkin saja ini adalah sajian terbaik dalam hidup saya. Setelah pendakian yang terjal, sesuatu yang sederhana menjadi begitu nikmat, dan dalam setiap gigitannya berhasil membawa rasa lelah saya lenyap.



Ada yang bilang, bahwa saya lebih kelelahan untuk mendaki gunung, daripada melalui empat belas jam penerbangan menuju Jepang. Ketika kami sudah di jalan pulang dan duduk di kereta dengan pendingin udara dan kursi yang empuk, kepala saya terantuk-antuk dan tersentak untuk kesekian ratus kali. Saya pun memasang alarm. Namun upaya untuk membuat saya tetap terjaga adalah hal yang sia-sia.


Beberapa kesan terakhir: apapun pengalaman kamu dulu, apapun keadaan tubuh kamu, mendaki gunung adalah sesuatu yang harus mengisi hidup dan perjalananmu ketika datang ke Yamanashi.

No comments:

Post a Comment

Instagram