oleh F. Agustimahir
artikel ini telah diunggah di situs Yamanashi-kankou
Mengikuti tingginya perkembangan industri
pariwisata, dalam beberapa tahun terakhir ini kita menyaksikan lahirnya
berbagai pilihan tempat menginap selain hotel. Misalnya hotel kapsul, hotel
gaya asrama dengan tempat tidur tingkat, wisma atau guest house, menginap di
rumah warga setempat, apartemen, dan lainnya. Hal ini pun diiringi dengan
kemajuan teknologi yang mempermudah siapapun untuk memesannya dari berbagai
portal.
Masing-masing dari pengguna berbagai tempat
penginapan tersebut tentunya memiliki kebutuhan dan kemampuan yang berbeda
dalam menyewanya. Jika saya sedang berwisata sendirian ala backpacker dengan
anggaran seadanya mungkin saya akan mencari tempat penginapan hemat ala
kadarnya. Yang penting cukup untuk istirahat dan membersihkan diri setelah puas
seharian berkeliling mengunjungi berbagai tempat yang diincar. Penginapan
bergaya asrama cukup untuk memenuhi kebutuhan di atas.
Namun, apakah pernah terlintas untuk
berwisata dengan keluarga atau orang-orang terdekat dan dan hanya ingin
bersantai? Jika pernah, maka wisma Shitandoh adalah salah satu tempat yang
paling saya anjurkan.
Shitandoh terletak di salah satu titik
paling tenang di Jepang: kota Hayakawa, prefektur Yamanashi. Kota Hayakawa
sendiri adalah salah satu kota dengan jumlah penduduk paling sedikit dan luas
wilayah terbesar di Jepang. Dikelilingi oleh alam yang asri, sehingga sangat
cocok untuk melepaskan penat dan menikmati alam.
Wisma Shitandoh dikelola oleh dua orang,
yaitu Teteh Yuri dan Abah Nemo (sengaja saya pakai ‘teteh’ dan ‘abah’ supaya
terasa lebih akrab –pen.) yang selalu siap untuk melayani tamu-tamu yang
datang. Saat saya berkesempatan untuk bermalam di sana beberapa waktu yang
lalu, saya merasa sedang menginap di rumah kerabat di desa. Sama sekali tidak
terasa nuansa menginap di sebuah penginapan.
Di mulai dari Abah Nemo yang menjemput saya
dan kawan-kawan di halte bus Kusashio Onsen. Di sana saya sangat takjub ketika
melihat indahnya sungai Hayakawa. Abah Nemo memberitahu karena semalam baru
turun hujan lebat, aliran sungainya cukup deras. Jangan coba-coba berenang
katanya, takut terbawa hanyut. Tapi karena sengatan matahari saat itu sedang
terik-teriknya, saya tetap memaksakan diri untuk sekedar cuci muka dan
memanjakan kaki di sela-sela derasnya aliran sungai.
Setibanya di wisma Shitandoh, saya takjub
dengan bentuk bangunannya. Terkesan baru, tapi sebenarnya sudah tua. Hal ini
terlihat dari balok kayu yang digunakan untuk kuda-kuda atap. Wisma Shitandoh
sendiri awalnya adalah rumah tua yang tidak terawat. Umurnya mungkin sudah
lebih dari seratus tahun. Beberapa tahun yang lalu sang pemilik memercayakan
rumah itu secara cuma-cuma kepada Abah Nemo untuk diperbaiki dan disewakan
sebagai wisma. Menurut pemiliknya hal ini lebih baik daripada rumah tersebut
lapuk dimakan usia.
Di dalam rumah ini terbagi menjadi tiga
kamar. Satu kamar untuk Teteh Yuri, dan dua kamar untuk tamu. Ditambah satu
ranjang tingkat di tengah rumah. Jadi wisma Shitandoh hanya sanggup untuk
menerima lima tamu dalam dalam satu regu per malam. Selain itu, ada satu kamar
mandi, satu toilet, satu dapur, satu perapian, dua balkon.
Yang terbaik yang dimiliki Shitandoh, yang
sudah sulit ditemukan di Jepang adalah, ‘goemonburo’. Alias tempat berendam
luar ruangan yang airnya dipanaskan langsung oleh tungku kayu bakar. Kurang
lebih seperti ini rincinya. Jadi bayangkan ada ember besar terbuat dari logam
yang dikokohkan dengan tembok batu di sekelilingnya dan dilengkapi dengan
lubang untuk memasukkan kayu bakar di bawahnya. Sudah terbayang kan sekarang?
Tenang, meski atapnya terbuka, sekelilingnya ditutupi oleh tirai jerami.
Bagian memanaskan api untuk berendam adalah
pengalaman paling mengesankan bagi saya. Teringat ketika kecil saat harus
menjerang air untuk mandi pagi di tungku kayu bakar di rumah nenek. Tiap sore
mengumpulkan ranting-ranting dan dedaunan di kebun nenek untuk digunakan esok
hari atau hari lainnya. Kali ini pun saya dan kawan-kawan harus mencari
ranting-ranting kering serta mengambil kayu bakar dari gudang untuk bahan
bakarnya.
Tidak terbiasa dengan hal ini, kami pun
harus berjuang hanya untuk menyalakan tungkunya.
Mulai dari membelah kayu bakar, dan
menghangatkan tungku yang dasarnya basah akibat hujan kemarin. Mungkin sekitar
satu atau satu setengah jam waktu yang kami butuhkan untuk membuat airnya
panas.
Tiba waktunya untuk mandi dan berendam. Jika
dahulu air panasnya harus saya masukkan ke ember dan dicampur dengan air dingin
supaya jadi hangat, kali ini saya langsung masuk ke ‘ember’ air panas. Ternyata
airnya panas sekali. Awalnya saya merasa jadi ayam di dalam panci. Saking
panasnya, saya minta Abah Nemo untuk mengalirkan air dingin lewat selang dari
luar agar suhunya turun.
Hanya untuk berendam sekitar lima belas
menit saja saya membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam untuk mempersiapkannya.
Terbayang sudah repotnya orang-orang di zaman dahulu hanya untuk mandi saja.
Terutama jika musim dingin tiba. Saya bersyukur dengan segala kemudahan yang
ada saat ini. Betul-betul pengalaman tak terlupakan.
Kegiatan hari ini ditutup dengan santap
malam bersama. Bedanya Shitandoh dengan penginapan lainnya adalah para tamu
ikut menyiapkan makan malam. Teteh Yuri pun sudah menyiapkan bahan makanan yang
disesuaikan dengan kebutuhan saya selaku muslim. Hidangan yang disediakan
adalah roti, ikan bakar, sayur-sayuran, tofu, daging, dan ‘konnyaku’ untuk saya sebagai pengganti daging. Meski
rasanya berbeda dengan daging, tapi ternyata setelah dipanggang ada kesan
kenyal dan sedikit alot seperti daging.
Hampir semua bahan-bahan di atas dipanggang
sendiri di atas ‘irori’ atau tungku yang disediakan di dalam rumah. Irori ini
sendiri adalah tungku yang zaman dahulu lazim ada di rumah. Seiring dengan
perkembangan zaman, penggunaan irori pun semakin ditinggalkan. Sehingga saat
penginapan yang memiliki irori pun memiliki daya tarik tersendiri.
Selesai makan, saya dan dua orang kawan
jalan-jalan sejenak ke arah sungai Hayakawa. Kami kesana karena menurut Abah
Nemo, jika malam tiba terkadang ada rusa yang berkeliaran di sana. Saat bermain
di sana sore harinya pun kami melihat beberapa jejak kaki rusa. Hanya saja,
malam itu kami kurang beruntung.
Jalan-jalan malam tadi menutup kegiatan
kami di Shitandoh. Suasana kekeluargaan yang kental, dikelilingi alam yang asri
dan tenang, dilengkapi dengan beberapa peralatan dan kelengkapan harian di masa
lampau melengkapi pengalaman bermalam di Shitandoh. Saya jadi membayangkan
bagaimana repotnya orang-orang di zaman dahulu dan betapa praktisnya hidup saat
ini.
Bagi kawan-kawan yang ingin bermalam di
Shitandoh, bisa memesan melalui situs www.kusasio.com atau situs AirBnB. Shitandoh
sendiri bisa dicapai dengan menggunakan bis kota dari stasiun JR Minobu. Saya
jamin, bermalam di Shitandoh akan menjadi pengalaman tak terlupakan.
Shitandoh Guesthouse
Biaya menginap
Dewasa (SMP
keatas) JPY 10.000/orang (untuk
orang pertama dan kedua)
JPY 8.000/orang (untuk orang ketiga)
JPY 6.000/orang (untuk orang keempat dan kelima)
Usia SD JPY 5.000
Dibawah usia SD Gratis
No comments:
Post a Comment