Cagar Budaya Akasawajuku


Oleh F. Agustimahir
artikel ini telah diunggah di situs Yamanashi-kankou


Di era sekarang ini, saat berkunjung ke negara atau kota besar manapun, bisa saja pemandangan yang ditemui akan sama, atau setidaknya serupa. Saya rasa, bentuk bangunan yang begitu-begitu saja, serta menjamurnya toko waralaba antar negara adalah penyebabnya.

Oleh karena itulah, saat berkunjung ke daerah yang berbeda dengan daerah asal, saya selalu ingin melihat peninggalan tradisi atau ciri khas dari daerah tersebut. Semakin unik ciri tersebut, semakin puas saat mengunjunginya. Mengamatinya dengan seksama, membayangkan bagaimana keseharian warganya di masa lampau adalah kesenangan tersendiri.

Kali ini saya mengunjungi Akasawajuku, sebuah daerah di kota Hayakawa, yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya nasional sejak tahun 1993. Kota Hayakawa sendiri terletak di prefektur Yamanashi, salah satu kota dengan penduduk paling sedikit dan wilayah terluas di Jepang.


Akasawajuku merupakan sebuah wilayah seluas 25,6 hektar yang melingkupi pemukiman, hutan, dan ladang. Ada 84 bangunan yang dilindungi sebagai cagar budaya di dalamnya. Salah satu perkampungan di sini diyakini sebagai salah satu perkampungan tertua di Jepang. Di dalamnya ada jalanan batu yang dibuat sejak zaman dahulu dengan peralatan seadanya.



Saat saya menelusuri jalanan ini, suasananya seakan-akan membuat waktu terhenti. Terkurung di antara bangunan tua yang masih nampak asli seperti dahulu adalah penyebabnya. Beberapa di antaranya sudah tidak terawat, namun ada juga sebaliknya. Dirawat oleh pemerintah.


Salah satu bangunan itu adalah Kikuya. Sebuah rumah dua lantai sebagai tempat istirahat bagi para pengunjung yang dibuka sepanjang hari. Tanpa pungutan biaya. Namun, pengunjung dilarang menginap di sini. Pengunjung bebas untuk menggunakan semua ruangan yang tersedia. Meski semuanya dibiarkan tetap seperti saat terakhir ditinggali, peralatan dapur dan toiletnya ternyata sudah disesuaikan dengan yang terbaru.


Di jalanan batu ini, dulunya ada banyak penginapan. Penginapan yang tumbuh berkat adanya ritual ibadah antara gunung Minobu dan gunung Shichimen bagi penganut Buddha Nichiren. Kontur tanah yang miring membuat lahan yang bisa digunakan untuk tempat tinggal terbatas. Sehingga jarak antar bangunan cukup rapat.



Meski saat ini hanya tinggal beberapa penginapan saja yang tersisa, saya membayangkan seramai apa para pengunjung saat dulu kala. Melihat dari variasi ukuran penginapan pun membuat saya membayangkan para pengunjung pun berasal dari berbagai lapisan masyarakat.

Salah satu penginapan yang tersisa adalah Guest house Osakaya. Menurut pengelolanya, Osakaya ini berdiri sejak 180 tahun silam, namun harus ditutup karena masalah biaya. Setelah dibiarkan terbengkalai beberapa tahun, beberapa orang setuju untuk memperbaiki dan mengelola kembali Osakaya dalam konsep baru.


Selain untuk menginap, tempat ini pun menjadikan berbagai permainan tradisional Jepang sebagai daya tarik yang ditawarkan bagi para pengunjung. Saat itu pun kami mencoba bermain dengan menggunakan kartu 'Hyakunin Isshu'. Kartu ini adalah kumpulan kartu bergambar 100 tokoh dengan cantuman puisi pendek dan tiga kelompok gambar, yaitu bangsawan pria, bangsawan wanita, dan biksu. Satu kartu untuk satu puisi dan satu gambar.

Kami memainkan permainan 'Bozu mekuri'. Salah satu permainan paling sederhana yang bisa dimainkan dengan kartu ini. Caranya sangat mudah. Tumpukan kartu yang telah diacak diambil secara bergiliran oleh tiap peserta. Peserta yang mendapatkan kartu bergambar bangsawan pria, akan menyimpan kartunya. Peserta yang mendapatkan kartu biksu, harus mengembalikan seluruh kartu yang dimiliki ke tengah terpisah dengan tumpukan kartu yang masih tertutup. Peserta yang mendapatkan kartu bangsawan wanita berhak untuk mengambil seluruh kartu yang telah diserahkan oleh peserta lain sebelumnya. Peserta yang mendapatkan kartu terbanyak di akhir permainan adalah pemenangnya.


Permainan yang menarik sekaligus menegangkan. Meskipun di awal permainan kita berhasil menyimpan banyak kartu, kita tidak bisa menjamin untuk menjaga kartu tersebut, dan kita tidak pernah tahu siapa yang akan tertawa paling akhir. Jika kalah pun, setidaknya di akhir permainan kita bisa tertawa bersama dengan peserta lainnya.

Biaya menginap (tanpa makan) di Osakaya sekitar JPY 5.000 - JPY 6.000 per tamu. Anak dibawah usia 3 tahun gratis.

Terakhir, kami semua mengisi perut dengan satu set soba di kedai Soba Takedaya. Sebuah kedai yang hanya buka di akhir pekan dan hari libur. Bisa juga buka di hari biasa dengan pemesanan minimal tamu 5 orang. Menu yang kami pesan saat itu adalah satu set zaru soba alias soba dingin.


Tak perlu menunggu lama, pesanan kami pun selesai dibuat. Satu set dari zaru soba ini terdiri dari soba, tsuyu (kecap asin untuk mencelupkan soba), nasi, tempura, berbagai asinan sayuran, dan nimono (rebusan sayuran). Sobanya bukan soba instant, namun dibuat sendiri oleh pengelola kedai. Rasanya lezat. Selain itu, ada satu hal yang jangan dilewatkan saat menyantap soba, yaitu meminum sisa tsuyu yang dicampur dengan air hangat sisa rebusan soba setelah semua hidangan habis sebagai penutup. Air rebusan soba tadi disebut ‘sobayu’. Satu set ini dihargai JPY 1.100. Harga yang pantas untuk rasa dan jumlah hidangan yang ditawarkan.



Berkunjung ke Asakawajuku ini memenuhi kegemaran saya tentang hal-hal khas yang ada di Jepang, khususnya di Yamanashi, Mengetahui sejarah di baliknya pun membuat kita menghargai peninggalan yang ada di sekitar kita. Bagaimana, sudah menentukan jadwal untuk berkunjung ke Akasawajuku?







1 comment:

  1. mari gabung bersama kami di Aj0QQ*co
    BONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
    BONUS REFERAL 20% seumur hidup.

    ReplyDelete

Instagram